Halaman

Selasa, 17 Februari 2015

Segelas Coklat untuk Malam ini

          Lari, rutinitas paling murah penuh makna. Selain sehat, otot juga semakin kencang, malah jadi besar. Pencarian rasa kali ini adalah di pojokan pasar, dua pasar legendaris yang di adaptasi dari dua buah nama pasaran jawa, Kliwon dan Manis. Semua bermula ketika obrolan malam itu, dikeramaian alunan musik barat di tempat ramai berahaya kuning itu. berdinding bata yang masih belum di tembok rapi, itu lah ciri khas tempat tersebut. Orang-orang bergabagi kalangan mengunjungi tempat itu, belum lama berdiri tapi mampu menyedot pelanggan hampir ke akar-akarnya. jantungnya dan  hatinya tak mampu lagi menilai. Entah alasan apa desain itu masih terlihat sedikit kuno tapi bisa di bilang cukup keren, menurut ukuran saya atau justru saya terlalu cupu dalam hal desain interior dan eksterior. Terlepas dari itu kota yang saya tinggali sekarang sudah menjadi kota yang ramai, meski kecil tapi lebih puluhan ribu pelajar mahasiswa tinggal di sini, bahkan dari beberapa enggan untuk kembali ke alam mereka, kota kelahiran mereka. Aku sendiri tak heran sejak lima tahun lalu masih terlihat sedikit lenggang, setidaknya pada jam keberangkatan dan kepulangan kerja.
         Chocholate, menu favorit saya. Segala bentuk yang terbuat dari coklat saya mengenali, persis atau pun berbeda bentuk saya dapat mengenali. Minuman dengan aroma khas coklat saya pesan, segelas kecil bukan takut kembung tapi aroma itu mampu bertahan di mulutku hingga beberapa hari. Seperti menyatu dengan tubuhku, tubuhku yang sudah seperti coklat karena memang warna kulitku coklat sedikit legam. Orang-orang sering menyebutku ireng deteng (bahasa Jawa), tapi aku lebih suka menyebutnya eksotik, setidaknya untuk menghibur diriku atau malah justru menyalahi takdir, mengumpat olokan mereka yang tak berdasar tapi terlihat.
          Entah apa yang membuatku jatuh cinta pada coklat jauh sebelum pada pandangan pertama. Tapi berhari sampai larut malam kutemukan jawabannya, yaitu warna. Dari buah biji coklat yang kemudian diolah sedemikian rupa shingga menjadi suatu warna yang mengkilap terlihat dengan jelas keanggunan yang dimiliknya, seperti sesuatu yang telah lama saja aku kenal. Warna itu memiliki beberapa variasi dari yang dengan kepekatan pekat sampai dengan terang, anggun sekali. Bahkan dalam sebuah mitos, coklat adalah minuman para Dewa. Tak terlalu ku pikirkan hal itu, yang menjadi permasalahan masih saja seputar kecintaanku pada coklat, masih menjadi misteri, meski warna yang kusuka. tapi hari ke hari kecintaanku melebihi batas, memuncak. melewati batas ambang kesadaranku. Bahkan aku sendiri seringtak sadar kala memikirkannya.
          Dia, rupawan yang anggun, yang merusak mimpi dengan berabagai pertanyaan. Aku mulai memikirkan untuk memutus hubungan dengannya. Waktu yang ada aku buat untuk melakukan banyak hal, bahkan melebihi batas waktu yang ada, 24 jam masih kurang. Usia normal waktu pun aku tebas demi bayaran ku atas yang telah kubuang untuk memikirkan hal itu. Kehidupan berubah sedikit dengan perlahan kembali ke titik normal. Menajalani seperti biasa, rutinitas, dan waktu yang ku punya juga sudah kembali seperti biasa, normal.
          Tempat yang menjadi favotitku untuk saat ini adalah cafe, menu yang ada beraneka ragam sesuai dengan jenisnya. Aku mulai jatuh cinta lagi pada tempat yang orang sebagian melepas lelah setelah aktivitas yang membuat penat. Duduk, mendengarkan musik, minuman hangat atau dingin, cemilinan seadanya merupakan kawan yang kurang sehat untuk tubuh dan kantong, tetapi cukup membuat jenuh hilang. Banyak cara orang membuat penat, aku lebih suka dengan bermain rasa dari setiap hal yang diolah dengan cita rasa khas. Saat itu aku berjumpa dengan kawan lama, coklat. Sejak saat itu aku memang menghindari, bahkan mencari cafe yang tak ada menu coklat, apa saja yang penting tak ada coklat. Seketika itu pikiranku melayang, kembali pada masa lalu, warna, itu warna yang ada yang dulu ku suka sekarang masih tetap sama. Aku enggan mendekatinya, tetapi semakin mencoba menjauh semakin mendekat ia denganku, hanya sepuluh senti meter dari pandanganku. Aku masih berkekeh untuk menolaknya, tapi teringat kembali bahawa apa yang terbuat dari tanaman itu adalah sesuatu yang hidup, dia hidup sama seperti halnya denganku, aku juga hidup. Aku menjauhinya bukan karena membenci tapi dia selalu hadir dalam pikiranku dengan banyak pertanyaan yang aku tak mampu menjawab, karena itu aku lari.
          Waktu terus melaju, kebisuan ku pada benda itu semakin menjadi, terdiam. Dia masih saja dihadapanku memandangku, memaksaku untuk menelannya, aku menelan ludah mencoba menjauh, berlari sejauh mungkin. Dia tetap ada di dekatku, mengikuti ke manapun aku melangkah, ke setiap sudut kota itu selalu diikuti.
          Tanpa sadar aku terbangun dan berada di tempat yang sangat asing, sangat tidak aku kenal. bahkan tak pernah terpikir olehku ada tempat seperti ini, jauh dan entah. Banyak makhluk yang hidup di dalamnya dengan berbagai aroma itu, aroma khas dari biji buah. Mereka berada di sekelili biji-biji itu dan seraya menabur dengan sesuatu yang khas oleh mereka. Aku mengintip pada ritual itu. Mereka menuja pada benda-benda bulat lonjong itu untuk beberapa saat sebelum dilakukan prosesi pada benda-benda tersebut. Mereka meletakan benda itu pada posisi paling tinggi dari diri mereka, berada jauh di atas sana. Aku melongo melihatnya. Masih dengan beribu pertanyaan dan heran apa benda itu sebenarnya yang mereka ritualkan untuk beberapa saat sebelum memakannya. Aku mulai tertarik dengan ritual itu, tak ada yang menyadari kehadiranku pada ritual itu, prosesi yang amat penting.
          Sudah berapa lama aku di sini aku pun tak tau, aku pasti hanya mimpi, itulah pikiran yang membuatku merasa tenang. Ini semua hanya mimpi.

Pinggiran

          Langit, masih membiru kala itu. udara pun masih sejuk, pinggiran jalan masih penuh dengan sesak bergerombolan remaja tanggung seusia belasan. bak laron yang berburu cahaya, dan yang tak disayangkan, meraka keluar lantas mati, mereka tetap saja berkeliaran di malam-malam berikutnya, sampai larut malam. Sengaja, itulah alasanya. rumah tak dapat memberikan rasa nyaman, jelas apalagi bahagia. lalu di manakah mereka kini untuk menghabiskan waktu dan temannya, uang, nongkrong, pelipur lara, berdialog dengan waktu, alam dan batas. semuanya tampak kosong, nol dan nihil.
          Langkah lirih dari ayunan kaki terasa mendekat, tidak satu atau dua, tapi banyak. beriringan dengan musik malam itu semakin membius dalam langkah kaki mereka. Bergerombol menuju meja pojok dekat dengan toilet, harumnya menambah aroma malam itu, bisu. Pelayan yang siaga menghampiri mereka, menuliskan setiap pesanan yang diminta dengan cepat dan mengulangi setelah semua pesanan dirasa cukup. sejenak kemudian datang dengan berbagai menu pesanan, tak ada yang sama. berbagi, itulah mereka, setiap pada suatu kunjungan tak ada menu yang sama mereka pesan. katanya biar semua dapat merasakan, seperti hati mereka yang dapat merasakan hati yang lain, persaudaraan tanpa darah. Hanya Adamlah yang tau atas semuanya.
          "Ini sangat enak," kata salah seorang yang dengan pamer menusuk hidangannya.
          "Jauh lebik enak yang ini," yang lain menimpali.
          Canda sunyi itu terus melaju hingga waktu tak tau. larut malam masih saja dengan kebisuan, bungkam tapi tangan mereka seraya menari diantara abjad untuk merangkai sejuta makna bahasa. merakalah yang jauh sangat unik, tanpa bahasa, kata jauh lebih baik. hidangan pun menjadi lebih menarik untuk menyampaikan suatu maksud. bungkam saja mulutnya dengan makanan itu, lalu telan dan tusukan. menohok ke tenggorokan. rasanya masih saja tetap nikmat, rasa, bau, warna dan lembutnya, coklat, nikmat.
          Adukan lembut dengan sendok kecil semakin membuatnya menjadi lebih lembut. warnya terasa lebih menggoda dibanding saat pertama kali datang dan melihatnya. rasanya masih saja sama sejak pertama kali kenal, khas coklatnya, cuma berbeda pada rupanya saja. dia bisa menjelma menjadi apa saja, tanpa ia sukai. dia juga bisa menjadi apa yang setiap mereka mau darinya.
          "Kau, itu apa?"
          "Sedikit selera untuk pecinta rasa."
          "Hahahaha," tertawa pecah di pojokan itu.
          "Yang tak pernah tau rasa itu hanya bisa tertawa."
          "dan yang tau rasa maka rasakanlah."
          Rasakanlah, yah benar saja, rasakanlah. Kau rasa apa yang ada di depan mulutmu. bukan di pikiranmu, nyata bukan abstrak.
          "Aku tak merasa apa yang kalian rasa, rasaku hanya ini, setiap tetes yang masuk ditenggorokan, setiap inchi yang ku pahami dari sebuah rasa, setiap titik yang berhenti yang masih bisa ku rasa. dan semua butuh rasa. rasa tak boleh buat permainan, dia itu mempunai rasa, dan rasa tak boleh di sakiti, dia itu seperti ibu dari suatu makanan. lalu apakah kau akan menyakiti ibu dari setiap apa yang kau masukan di dalam bangunan dan hidanganmu."

Rabu, 11 Februari 2015

BIANG

Masih menjadi misteri dari sebuah jamur dalam kehidupan tepung putih itu, banyak di antara yang memberi nama dengan versinya masing-masing. Aku sendiri masih belum mempunyai nama untuk itu, karena biang itu masih saja menyembunyikan identitasnya atau masih saja aku bingung untuk memberinya. Biang itu aku pernah membuatnya, tapi belum pernah mencoba. Kala itu biang yang ku buat dari pisang dengan campuran gula pasir dan air. Sudah jadi, yah sudah jadi, tapi ragu untuk menggunakannya. Bukan soal tak percaya, tapi lebih pada ketakutan.
untuk itu aku membuangnya, sangat di sayangkan, banyak makhluk kecil yang hidup di dalamnya, tapi aku membunuhnya hanya dalam hitungan detik. Entahlah sekarang dia berada di mana. Mungkin sudah hilang. Aku membunuhnya tanpa sempat mempertemukan dia dengan sahabatnya, tepung.
tepung menjadi sahabat terpenting bagi biang itu, dialah untuk campuran suatu adonan yang bisa lezat untuk dinikmati, kue. Menjadi nama lucu yang tercampur dari biang dan tepung, tapi nikmat untuk dirasakan, lagi mengeyangkan. kue, bisa menjadi cantik, anggun. saat kalian bisa menghargai kue sebagai benda yang hidup yang mana di dalamnya terdapat makhluk yang amat mungil yang tumbuh, lalu ia rela mati saat suhu membakarnya. Biang, karena kaulah banyak yang hidup darimu. Biang.