Halaman

Selasa, 17 Februari 2015

Pinggiran

          Langit, masih membiru kala itu. udara pun masih sejuk, pinggiran jalan masih penuh dengan sesak bergerombolan remaja tanggung seusia belasan. bak laron yang berburu cahaya, dan yang tak disayangkan, meraka keluar lantas mati, mereka tetap saja berkeliaran di malam-malam berikutnya, sampai larut malam. Sengaja, itulah alasanya. rumah tak dapat memberikan rasa nyaman, jelas apalagi bahagia. lalu di manakah mereka kini untuk menghabiskan waktu dan temannya, uang, nongkrong, pelipur lara, berdialog dengan waktu, alam dan batas. semuanya tampak kosong, nol dan nihil.
          Langkah lirih dari ayunan kaki terasa mendekat, tidak satu atau dua, tapi banyak. beriringan dengan musik malam itu semakin membius dalam langkah kaki mereka. Bergerombol menuju meja pojok dekat dengan toilet, harumnya menambah aroma malam itu, bisu. Pelayan yang siaga menghampiri mereka, menuliskan setiap pesanan yang diminta dengan cepat dan mengulangi setelah semua pesanan dirasa cukup. sejenak kemudian datang dengan berbagai menu pesanan, tak ada yang sama. berbagi, itulah mereka, setiap pada suatu kunjungan tak ada menu yang sama mereka pesan. katanya biar semua dapat merasakan, seperti hati mereka yang dapat merasakan hati yang lain, persaudaraan tanpa darah. Hanya Adamlah yang tau atas semuanya.
          "Ini sangat enak," kata salah seorang yang dengan pamer menusuk hidangannya.
          "Jauh lebik enak yang ini," yang lain menimpali.
          Canda sunyi itu terus melaju hingga waktu tak tau. larut malam masih saja dengan kebisuan, bungkam tapi tangan mereka seraya menari diantara abjad untuk merangkai sejuta makna bahasa. merakalah yang jauh sangat unik, tanpa bahasa, kata jauh lebih baik. hidangan pun menjadi lebih menarik untuk menyampaikan suatu maksud. bungkam saja mulutnya dengan makanan itu, lalu telan dan tusukan. menohok ke tenggorokan. rasanya masih saja tetap nikmat, rasa, bau, warna dan lembutnya, coklat, nikmat.
          Adukan lembut dengan sendok kecil semakin membuatnya menjadi lebih lembut. warnya terasa lebih menggoda dibanding saat pertama kali datang dan melihatnya. rasanya masih saja sama sejak pertama kali kenal, khas coklatnya, cuma berbeda pada rupanya saja. dia bisa menjelma menjadi apa saja, tanpa ia sukai. dia juga bisa menjadi apa yang setiap mereka mau darinya.
          "Kau, itu apa?"
          "Sedikit selera untuk pecinta rasa."
          "Hahahaha," tertawa pecah di pojokan itu.
          "Yang tak pernah tau rasa itu hanya bisa tertawa."
          "dan yang tau rasa maka rasakanlah."
          Rasakanlah, yah benar saja, rasakanlah. Kau rasa apa yang ada di depan mulutmu. bukan di pikiranmu, nyata bukan abstrak.
          "Aku tak merasa apa yang kalian rasa, rasaku hanya ini, setiap tetes yang masuk ditenggorokan, setiap inchi yang ku pahami dari sebuah rasa, setiap titik yang berhenti yang masih bisa ku rasa. dan semua butuh rasa. rasa tak boleh buat permainan, dia itu mempunai rasa, dan rasa tak boleh di sakiti, dia itu seperti ibu dari suatu makanan. lalu apakah kau akan menyakiti ibu dari setiap apa yang kau masukan di dalam bangunan dan hidanganmu."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar